Minggu, 25 Juli 2010

REALITAS MEMILIH

Pemakaian fotografi dan ‘membaca’ foto mulai dijadikan kebiasaan, hal ini didukung oleh percepatan teknologi yang memungkinkan semua orang mampu ‘memfoto’. Dalam essainya ‘Uses of photography’ (1978) John Berger , kritikus seni dan budaya asal Inggris menyimpulkan bahwa pembuatan foto berubah dari sebuah ritual – suatu kejadian istimewa yang dapat direkam karena adanya teknik baru  menjadi sebuah ‘refleks’.

 

“Kamera menjadikan setiap orang untuk menjadi turis dalam realitas orang-orang yang melihatnya, dan pada akhirnya menjadikan hal itu realiatasnya sendiri”( Susan Sontag).

 

Fotografi merupakan sebuah abstraksi yang memperlihatkan tatanan dunia berdasarkan perspektif yang dikelompokan, ini berlainan dengan cara kita melihat : kita melihat dunia tidak dengan satu titik pusat, tidak dengan sudut pandang yang tetap. Namun foto diterima sebagai penggambaran harfiah dan nyata, Susan Sontag (1977) memaparkan bahwa foto adalah sebuah jejak, sebuah cetakan harfiah dari apa yang terjadi pada saat itu yang menetapkan perwujudan sebuah peristiwa.

 

Pada massa sekarang persepsi kita tentang realita secara berangsur terpaut erat dengan fotografi. Sukses fotografi menjadi penting dalam pemaparan budaya visual yang menyerap sejumlah besar bidang entertainment untuk menstimulir penjualan dalam masyarakat konsumtif.

 

Akhirnya kita mempertanyakan apakah ada bidang fotografi lainnya, yang mampu bertahan terhadap konsumentisme. Bidang ini seharusnya tersedia untuk menstimulir ingatan sosial politik dan budaya yang terjadi dan memberikan penawar terhadap kepuasan lahiriah atas kehilangan daya ingat dan kesadaran historis.

 

Memilih:  Identitas ? tendentious

 

“....dalam interaksi hal-hal yang tidak mungkin terjadi, kita memungkinkan segala sesuatu untuk terjadi....” , Jean Bauldrillard

 

Perkembangan identitas sebagai salah satu bentuk rekayasa modern kini tengah dipelajari dari berbagai sudut pandang : Sosiologi, fenomenologi, semiotik , linguistik, religius , politik, seksual, aesthetic dan berbagai sudut pandang kombinasinya yang mempercayai bahwa proses berkembangnya pola-pola estetika dalam subbudaya/subculture tertentu sesungguhnya dapat menjelaskan banyak hal mengenai proses yang terjadi pada ruang tersebut.

 

Subculture itu sendiri ditandai oleh suatu oposisi yang sistematis kepada kultur dominan mungkin digambarkan sebagai counter culture, dalam bukunya Dick Hebdige “Subculture is the meaning of style” memberikan gambaran bahwa subculture dapat dirasa sebagai hal negatif karena bersifat kritik kepada sesuatu yang dominan dimana subculture tersebut memberikan sebuah perasaan individu yang merasa dilalaikan oleh yang dominan tersebut yang kemudian memberikan dan membiarkannya mengembangkan sesuatu, ini merupakan pengertian dari identitas itu sendiri. 

 

Kaitannya pada fotografi dapat dihubungkan, dimana fotografi dominan sangat mendominasi lini persepsi para fotografer dalam memotret, maka fotografi dalam wilayah subculture menjadi alternatif lain yang memberikan ruang, posisi dan porsi yang berbeda.

 

Bandung, sebagai ruang, dimana kebudayaan anak muda (Youth culture) lokal berkembang dan berevolusi bersama dengan berbagai perangkatnya yang identik dengan hasrat atau passion, musik, lifesyle, fashion,visual art yang merupakan media signifikan dalam wilayah politik identitas mereka. Terlepas dari suasana posisi geografisnya yang kondusif, para pelaku dan artefak dalam ruang ‘youth culture’ memiliki identitasnya sendiri yang berkarakter dari setiap generasinya sehingga mempopulerkan  subculture Punk sampai merebaknya jaringan indiepop dan fashion industri (clothing).

 

Di wilayah ini selain bergeraknya tanda-tanda yang dapat dibaca sebagai usungan mereka dan bahasa respon anak muda terhadap dunia sekitar mereka, juga bergerak sebuah hasrat untuk menemukan identitas dan sekaligus pencarian makna atas kehidupan yang berbeda dengan generasi mereka sebelumnya, fotografi menjadi pilihan yang paling realistis untuk menangkapnya dan akhirnya subculture ini mulai ‘memiliki’ orang-orang yang berdedikasi mengabadikan setiap momen kultural yang terjadi disana. Tidak sekedar mengabadikan dalam bentuk performance, tetapi  mulai diharapkan untuk terlibat lebih jauh dan sama-sama bergerak sebagai sebuah perangkat yang mutual.

 

 

 

 

Kita bertanya-tanya, kenapa harus berada di jalur ini ?

 

“..... memotret itu sama dengan memilih biskuit.....” ,

 

Disini  kita akan terus mengambil objek yang kita senangi dan akan menyisakan yang tidak kita senangi dan itu akan menjadi tidak berguna, tetapi bila kita melihat kebergunaan atau tidaknya sebuah image dari nilai kapital di masyarakat konsumtif tadi maka memotret dalam ruang lingkup subkultur ini menjadi tidak berguna.

Kita coba kembalikan pada sebuah passion yang dapat menjadi alas mendasar untuk individu berkreasi dan memilih identitasnya. Idealis memang, tapi bila hal ini tidak sepenuhnya disadari untuk menjadi sebuah kebutuhan maka akan muncul ketidakkonsistenan dalam berkarya.

 

Konsisten, agak sulit bila sudah dikaitkan dengan faktor komersialisasi & industri, tapi hal ini bergantung pada bagaimana ruang ini menilai sebuah karya fotografi untuk dibawa menjadi media komersil yang saling menguntungkan tanpa mengurangi nilai substansi dari sudut pandang yang menaunginya.

 

inconvenience job experience when people do not want to esteem a photograph masterpiece and hopes that altogether can be free (no charge at all)…….”  Cindy Frey (2006)

 

Mungkin Gleen E. Friedman dapat dijadikan contoh, dengan peluncuran buku F*ck You All, F*ck You Too dan F*ck You Heroes yang memaparkan keberadaan aktivitas ini dari era70-an sampai sekarang atau Cindy Frey dengan buku kumpulan fotonya yang diterbitkan Obssesive Prod (Belgia) dapat menjadi reference bagaimana fotografi subkulture ini tetap ada dengan posisi lebih bermakna dari sekedar usaha pendokumentasian belaka, namun juga sebagai media yang mewakili individu aktif dalam sebuah aktifitas cultural/politis dalam menyampaikan pesan dan ide-ide dari dunia yang mewakilinya dan ini ‘mungkin’ akan menjadi awal dari sebuah basis ekonomi baru dalam ruang lingkup subculture itu sendiri.

 

Dan pada akhirnya, hal ini memberikan sebuah penegasan dalam keharusan memilih......... itu terserah! Hanya orang-orang yang berani mengambil pilihan yang akan tetap ada dan tetap konsisten, tetapi yang setengah hati/terbawa arus tren yang ada (budaya dominan/global) akan terseleksi dengan sendirinya.

 

“ Saya mencoba membuat gambaran yang terus berubah, terbagi-bagi dan berpihak jelas, sistematis dan menurut naluri atas ruang fisik serta hasrat emosi dimana saya-lah pemainnya”, Antoine d’Agata (1999)

 

 


Frans A. Prasetyo

2008

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar